
Kota Medan , Tapispost.com,- Menko Polhukam Mahfud Md menemukan soal dugaan mafia tanah yang terjadi di lahan milik PTPN II di Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut) yang telah merugikan negara hingga Rp 1,7 triliun.
Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto pun merespon pernyataan Mahfud Md tersebut.
Hadi mengatakan pihaknya akan terus mempertahankan tanah milik negara tersebut dengan menempuh jalur peninjauan kembali (PK) di pengadilan.
“Kita sendiri dengan upaya PK, ya upaya PK,” kata Hadi Tjahjanto di Medan, Kamis (20/7/2023).
Kemudian, dia meminta Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy untuk menjelaskan mengenai persoalan itu.
“Mungkin Pak Gubernur bisa membantu untuk menjelaskan,” ucapnya.
Edy yang berada di sebelahnya kemudian merespon hal itu.
Edy menyebutkan jika semua pihak sudah tahu kelemahan pemerintah adalah mengenai dokumen.
“Ya, saudara-saudara saya, Pak Menteri, pasti semua sudah tahu yang sebenarnya, tapi ada hal kelemahan pemerintah tentang dokumen,” sebut Edy.
Meskipun begitu, pemerintah akan tetap mempertahankan tanah tersebut dengan tetap menempuh jalur hukum. Mantan Pangkostrad ini meminta agar pihak para seluruh jurnalis juga ikut membantu permasalahan itu.
“Kegiatan-kegiatan hukum ini akan terus kita lakukan karena mempertanggungjawabkan milik negara, untuk itu para wartawan juga harus membantu, kolaborasi kita ini kolaborasi menyelesaikan sepenuhnya,” tutupnya
Sebelumnya,Mahfud Md menemukan adanya dugaan kasus mafia tanah yang terjadi di lahan milik PT Perkebunan Nasional II, Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut).
Mahfud menilai ada suatu unsur pidana dalam kasus ini yang terindikasi telah merugikan negara sebesar Rp 1,7 triliun.
“Tadi telah melakukan suatu bedah kasus atas putusan pengadilan mengenai tanah negara di Tanjung Morawa, Sumatera Utara seluas 464 hektare.
Itu milik aslinya PTPN 2 tapi tiba-tiba di pengadilan dikalahkan di dalam kasus perdata,” kata Mahfud Md kepada wartawan usai rapat bersama di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (18/7/2023).
“Kita baru tahu 2019, sesudah para penggugat berjumlah 234 orang itu minta eksekusi.
Ketika dia minta eksekusi barulah kita nanya ke BPN bahwa tanah itu sejak dulu milik PTPN.
Dan belum pernah ada suatu perubahan, kok tiba-tiba bisa menang di PN,” sambungnya.
Mahfud menjelaskan surat yang sudah dibuat sejak 20 Desember 1953 tersebut digunakan masyarakat sebagai alas hak atas tanah dan diajukan sebagai bukti pada proses gugatan perdata.
Namun, kata Mahfud, ada beberapa kejanggalan yang ditemukan dalam surat tersebut.
“Ya ada suatu kejanggalan ejaan sesuatu yang tidak mungkin ada di surat keterangan yang dibuat tahun itu, ketika tanda tangan pejabatnya yang satu miring ke sini yang satu miring ke sana dan sesudah ditanyakan ke Bareskrim, ke labkrim itu yang begitu ndak perlu dibawa forum sudah jelas tidak identik,” terang Mahfud.
“Iya mafia tanah, dan mafia tanah banyak sekali sehingga kita harus memberi contoh bagaimana caranya menghadapi mafia tanah itu, ini bagian dari mafia tanah, jelas sekali mafia tanah,” sambungnya.
Selanjutnya pemerintah, dikatakan Mahfud, akan melakukan langkah-langkah hukum untuk menyelesaikan persoalan ini.
Upaya ini dilakukan agar tanah tersebut bisa kembali menjadi milik negara.
Sebab, dalam keterangan tertulis hasil diskusi yang dilakukan Kemenko Polhukam, implikasi dari proses pidana tersebut akan berdampak pada upaya hukum luar biasa yang sedang dilakukan oleh PTPN II dalam proses perdata serta negara berpotensi kehilangan 17% aset yang dikelola PTPN II setara dengan Rp 1,7 Triliun
Oleh sebab itu,kita ini melakukan upaya hukum dulu dari sudut hukum pidana,karena hukum pidana nya belum inkrah,sekarang ini tadi kita melakukan bedah kasus dan memang ada kejanggalan-kejanggalan yang nanti akan disampaikan dan telah sebagiannya telah disampaikan didalam suatu memori kasasi,Ujar Mahfud.
PEWARTA:ROBIN 766hi